Kretek Indonesia dalam Gadis Kretek

Jenny N Salvador
6 min readAug 8, 2022

--

Tidak dapat dipungkiri, kretek merupakan bagian dari budaya Indonesia yang sudah lama berlangsung di Indonesia. Bahkan sejak tahun sekitar 1600-an, Sultan Agung dari Keraton Mataram, merupakan seorang perokok berat (Budiman dan Onghokham dalam DM Dkk., 2011:35). Saat ini, merokok sudah menjadi gaya hidup rakyat Indonesia dari berbagai kelas. Novel Gadis Kretek menampung berbagai aspek dari kretek, mulai dari sejarah hingga pembuatan, dibalut dengan konflik tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.

Gadis Kretek merupakan sebuah novel karya Ratih Kumala yang pertama kali terbit pada tahun 2012 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Dikutip dari CNNindonesia.com, novel Gadis Kretek berangkat dari sejarah keluarga Ratih Kumala yang membangun industri kretek. Cerita-cerita tersebut didapatkan dari ibunya yang akhirnya berujung pada penelusuran Ratih terhadap perkembangan industri kretek. Dilansir dari ratihkumala.com, Ratih Kumala, penulis dari novel Gadis Kretek, adalah penulis kelahiran Jakarta pada tahun 1980. Sejauh ini, Ratih Kumala sudah menulis enam buku.

Novel ini dibuka dengan kalimat “Romo sekarat. Berhari-hari dia mengigau sebuah nama: Jeng Yah”. Karena nama ini, anak-anak Romo bertekad untuk mencari sosok Jeng Yah yang kemudian membawa pembaca menelusuri masa lalu kretek Djagad Raja, merek kretek yang diasuh tokoh Romo dan diturunkan ke anak-anaknya.

Alur cerita novel ini maju-mundur dari masa lalu yang terjadi di sekitar pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, hingga 1965-an ke masa sekarang. Di masa sekarang, Soeraja, atau Romo, sudah mempunyai penerus yaitu ketiga anaknya dan mempunyai bisnis yang berkembang pesat. Kekayaannya bahkan disebut-sebut bisa menghidupi tujuh turunan.

Cerita tentang masa lalu Romo diceritakan dengan sudut pandang ketiga. Uniknya, cerita ini tidak mulai langsung dari sudut pandang Romo, melainkan seorang tokoh bernama Idroes Moeria. Selanjutnya, diketahui bahwa Idroes Moeria ini adalah seorang teman (yang kemudian menjadi “musuh”) kakek Romo, Soedjagad. Kisah ini diperkirakan mulai sekitar tahun 1941, berdasarkan dari kutipan berikut:

“Idroes Moeria pernah mendengar ramalan itu dari Kyai yang dia temui di langgar: bahwa Djojobojo telah meramalkan Indonesia akan menderita selama tiga setengah abad di bawah pemerintahan orang kulit putih. “Ya Londo iku sing gawe sengsoro!” demikian ucap Kyai. Ramalan itu, tak berhenti di situ, ada lanjutannya: dan akan dimerdekakan oleh saudara tua yang berkulit kuning. Diam-diam, Idroes Moeria mengingat-ingat ramalan itu dan menghitung. Jika hitungannya tidak salah, maka tahun depan adalah waktunya Belanda hengkang dari Indonesia. (halaman 49)”

Berdasarkan ramalan tersebut, Idroes Moeria optimis hidupnya akan lebih baik setelah Belanda pergi dari Indonesia. Tentu saja, sejarah menunjukkan bahwa Jepang yang digadang-gadang sebagai “saudara tua” tersebut pada kenyataannya membawa nasib sengsara pada rakyat Indonesia.

Ketika Idroes Moeria datang ke Sekolah Rakjat untuk belajar membaca, sekolah tersebut sudah hancur dan seorang Kakek berkata pada dirinya bahwa sekolah tersebut dihancurkan oleh Jepang dan para pengajar dipaksa untuk bekerja pada mereka. Idroes Moeria sulit percaya dan bingung mengapa Jepang melakukan itu pada negerinya. Kemudian Idroes Moeria menemukan bahwa Pak Trisno, pengusaha klobot tempat dia bekerja, juga gulung tikar karena semua asetnya diambil oleh Jepang. Pak Trisno hanya mempunyai dua keranjang berisi tembakau kering. Di masa krisis itu, Idroes Moeria menemukan peluang untuk membangun usahanya.

Selain Pak Trisno, diungkapkan pula di dalam novel bahwa industri tembakau sedang jatuh. Hal ini benar-benar terjadi setidaknya pada tiga perusahaan tembakau di Indonesia, yaitu Bal Tiga, HM Sampoerna, dan Djambu Bol. Pada buku Kretek karya Mark Hanusz, Bal Tiga bangkrut karena semua aset seperti emas, uang, tanah, bangunan, dan kendaraan, disita oleh tentara yang saat itu berkuasa, yang dalam hal ini adalah Jepang (Hanusz, 2011:48).

Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan, dalam pengantar buku Kretek, mengungkapkan pengalamannya selama pendudukan Jepang. Pada masa itu, banyak orang mengalami kelaparan karena sulit untuk menemukan makanan. Banyak pula yang mati kelaparan. Merokok adalah salah satu cara untuk menahan lapar (Hanusz, 2011:xiv-xvi) .

Idroes Moeria, ketika sedang mengembangkan bisnisnya, ikut ditangkap Jepang ketika sedang ingin mencetak foto dirinya untuk diletakkan di bungkus klobot produksinya. Hingga sampailah momen kemerdekaan yang membuat orang-orang yang dibawa Jepang pun bebas. Idroes Moeria pulang sebulan setelah Proklamasi. Ia membangun kembali bisnis yang selama ini diurus oleh istrinya, Roemaisa.

Selama mengalami kerja paksa di sebuah tempat bernama Kloben, Idroes Moeria menyadari bahwa klobot tak lagi relevan. Ia pun mulai membuat kretek yang ia namai ‘Rokok Kretek Merdeka!’. Filosofi yang diberikan pada produk barunya, dari nama hingga kertas papier yang berwarna merah, sesuai dengan suasana kemerdekaan yang hangat dibicarakan pada masa itu.

Pada masa-masa kemerdekaan, merokok dapat menjadi representasi tersendiri untuk menyatakan sikap terhadap kolonialisme Barat, seperti Agus Salim dengan tindakan terkenalnya ketika merokok kretek dalam sebuah pertemuan diplomasi di London. Demikian pula pada suasana bermuatan politik pada tahun 1940-an dan 1950-an, kretek adalah fitur yang menonjol dalam banyak sastra avant-garde dan lingkungan artistik (Hanusz, 2011:171).

Industri kretek mulai kembali berkembang di Indonesia setelah perang dunia II berakhir. Pemerintah melancarkan program intensifikasi cengkeh rakyat pada tahun 1960-an yang akhirnya membawa Indonesia menjadi negara penghasil cengkeh utama (Hanusz, 2011:69). Industri kretek baru juga mulai bermunculan, salah duanya ialah Djarum pada tahun 1951 dan Gudang Garam pada tahun 1958.

Tahun pasca kemerdekaan hingga tahun 1965 merupakan pusat penceritaan pada novel Gadis Kretek. Roemaisa akhirnya kembali mengandung setelah sempat keguguran pada masa Jepang dan melahirkan dua anak perempuan, Dasiyah dan Rukiyah. Sejak kecil, Dasiyah sudah menunjukkan bakatnya di bidang tembakau. Karena bakatnya tersebut, Dasiyah perlahan-lahan dilibatkan pada produksi kretek Merdeka! dan sampai pada Dasiyah sendiri yang mengurus keuangan industri ayahnya.

Karena ambisi untuk mengalahkan lawannya, Soedjagad, yang juga mempunyai bisnis yang bergerak dibidang yang sama, Idroes Moeria terus menerus membuat nama dagang kretek. Ambisinya tersebut perlahan menghabiskan modal hingga Dasiyah dengan tegas melarang ayahnya membuat nama dagang lagi kecuali ia mendapatkan pemodal. Idroes Moeria pun mencari pemodal dan mendapatkannya, hingga lahirlah merek dagang baru bernama Kretek Gadis yang melibatkan Dasiyah dalam pembuatan “saus”. “Saus” merupakan formula yang ditambahkan ke kretek untuk membuat rasa kretek tersebut unik. Tak lama setelah beredar di pasaran, Kretek Gadis laku keras. Dasiyah juga mendapatkan nama panggilan baru, yaitu Jeng Yah.

Dasiyah — atau Jeng Yah — bertemu dengan seorang laki-laki, Soeraja, ketika ia menjaga stan Kretek Gadis di sebuah pasar malam. Dasiyah mengagumi Soeraja karena kerja kerasnya. Ia pun mengajak Soeraja bekerja untuk Dasiyah karena menurut Dasiyah, Soeraja merupakan seorang pekerja keras. Kemudian Soeraja menjadi tangan kanan Idroes Moeria setelah Soeraja menyatakan cintanya pada Dasiyah di depan Idroes Moeria.

Semua berjalan baik-baik saja, hingga seorang pemilik Kretek Boekit Klapa bersama anaknya datang ke rumah Idroes Moeria untuk meminang Dasiyah. Soeraja yang mendengar kabar tersebut berkecil hati dan merasa tidak pantas untuk Dasiyah, terlebih beberapa buruh di pabrik membicarakan dirinya yang hanya “numpang hidup enak”. Meski awalnya tidak mendapat persetujuan dari Dasiyah, Soeraja akhirnya memulai untuk mencari pemodal untuk perusahaan kreteknya.

Usahanya untuk mencari pemodal sia-sia dan ia kembali bekerja untuk Kretek Gadis. Ketika Soeraja sedang ke percetakan untuk mengurus etiket Kretek Gadis, carik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang (dagangan) yang memuat keterangan (misalnya nama, sifat, isi, asal) mengenai barang tersebut, ia melihat selebaran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sangat banyak. Dari Pak Mloyo, pengurus percetakan itu, Soeraja mengetahui bahwa partai tersebut dapat menjadi pemodal. Usaha Soeraja untuk membuat perusahaan kretek kali ini berhasil.

Enam bulan kemudian, Soeraja memberanikan diri melamar Dasiyah. Sudah ditentukan bahwa hari pernikahan mereka adalah 1 Oktober 1965. Namun, hari pernikahan itu tidak pernah terjadi. Soeraja terpisah dari Dasiyah karena keterlibatannya dengan PKI melalui Kretek Arit Merah, merek dagang milik Soeraja.

Bagi saya, Gadis Kretek berhasil merangkum sebagian periode sejarah kretek juga pembuatan kretek. Deskripsi pembuatan kretek (dan klobot) setidaknya memperlihatkan bahwa novel ini disusun berdasarkan penelitian dalam yang dilakukan penulisnya. Sudut pandang yang disajikan dalam novel ini dalam mengungkapkan peristiwa selama periode 40an sampai 1965 pun cukup menarik. Tentu saja, ada unsur-unsur fiksi di dalamnya.

Daftar Pustaka

Buku

DM, Abhisam, Hasriadi Ary, dan Miranda Harlan. 2011. Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek. Jakarta: Penerbit Kata-Kata

Hanusz, Mark. 2011. Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. Jakarta: Equinox Publishing (Asia)

Kumala, Ratih. 2019. Gadis Kretek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Situs Web

Fauzi, Gilang. 2016. “Napak Tilas si Gadis Kretek”. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160530185908-20-134506/napak-tilas-si-gadis-kretek. Diakses 1 Februari 2022

“Ratih Kumala”. https://ratihkumala.com/about. Diakses 1 Februari 2022

--

--

Jenny N Salvador
Jenny N Salvador

Written by Jenny N Salvador

Hi! I’m Jenny and I write about social media, books, history, social phenomena, and many more.